04 Juli 2025 | Dibaca: 2107 Kali
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta Tidak Terbukti Mengganggu Kegiatan Ekonomi Pelaku Usaha Kecil

Jakarta, 4 Juli 2025 — Setelah tertunda selama 14 tahun, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) akhirnya mulai dibahas oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta pada pertengahan tahun 2025. Pembahasan ini menjadi tonggak penting dalam upaya perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya konsumsi tembakau, terutama bagi generasi muda.
Dr. Roosita Meilani Dewi, Kepala Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta menyatakan, “Langkah DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membahas Raperda KTR patut diapresiasi sebagai bentuk komitmen nyata dalam melindungi hak atas kesehatan masyarakat. Raperda ini memiliki dasar hukum kuat, mulai dari Pasal 28H UUD 1945 hingga Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 yang melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia 21 tahun.”
Roosita juga menegaskan bahwa kekhawatiran sebagian pihak terhadap dampak ekonomi KTR tidak terbukti. Data keuangan DKI Jakarta menunjukkan bahwa meski telah diberlakukan larangan iklan rokok melalui Pergub No. 1 Tahun 2015, penerimaan pajak reklame justru menunjukkan tren stabil dan cenderung meningkat, dari Rp714,9 miliar (2015) menjadi Rp961,3 miliar (2024), dengan puncak mencapai Rp1,095 triliun pada 2022.
“Fakta ini membantah anggapan bahwa pembatasan promosi rokok akan menurunkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Justru, rokok menjadi komoditas pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua setelah beras, dengan rata-rata pengeluaran Rp79.226 per bulan (Susenas 2019), yang sangat membebani keluarga prasejahtera,” tambah Roosita.
Desakan Pengesahan Raperda KTR
CHED mendorong DPRD DKI Jakarta untuk segera mengesahkan Raperda KTR dengan tiga pertimbangan utama:
1. Melindungi hak kesehatan masyarakat sebagai bentuk implementasi Hak Asasi Manusia (HAM),
2. Menyelamatkan generasi muda dari risiko adiksi nikotin,
3. Memperkuat konsistensi kebijakan pengendalian tembakau di Ibu Kota.
Dollaris Riauaty Suhadi, Ketua Smoke Free Jakarta, menyambut baik pembahasan Raperda ini dan menyebutnya sebagai upaya menyatukan berbagai regulasi yang sudah ada menjadi satu peraturan yang lebih kuat, termasuk pengaturan sanksi bagi pelanggar, larangan promosi dan sponsor rokok, serta pengendalian rokok elektronik.
“Pandangan negatif bahwa KTR akan mengganggu kegiatan usaha tidak berdasar. Tidak ada data yang membuktikan peraturan KTR menghambat aktivitas ekonomi, baik di Jakarta, kota lain di Indonesia, maupun di berbagai kota global,” ujar Dollaris.
Survei publik yang dilakukan di Jakarta pada 2009, 2011, dan 2013 menunjukkan dukungan masyarakat terhadap larangan merokok di dalam gedung. Bahkan 954 dari responden yang merokok pun menyatakan mendukung kebijakan tersebut.
Perlindungan Anak Jadi Fokus Utama
Sekretaris Jenderal Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Titik Suharyati, menegaskan dukungan terhadap Raperda KTR. “Fokus utama kebijakan ini adalah perlindungan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Tanpa pengaturan ketat, usia perokok pemula akan semakin muda, membahayakan masa depan mereka,” ujarnya.
Sementara itu, dr. Sumarjati Arjoso, SKM, Ketua Tobacco Control Support Centre Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI), juga menegaskan bahwa Raperda ini harus konsisten dengan PP No. 28/2024 dan indikator Kabupaten/Kota Layak Anak. Ia menyarankan agar Raperda tetap mempertahankan larangan total iklan rokok, pelarangan penjualan rokok batangan, serta pengaturan penjualan rokok elektronik. Ia juga mendorong integrasi layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) dalam kebijakan tersebut.
Tentang KTR DKI Jakarta
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah kebijakan publik yang dirancang untuk menciptakan lingkungan sehat melalui pembatasan aktivitas merokok di ruang publik tertentu. Raperda KTR DKI Jakarta akan menjadi kerangka hukum terpadu dalam pengendalian konsumsi tembakau di ibu kota.