16 Juni 2023 | Dibaca: 1845 Kali
DPRD Surabaya Soroti Pendidikan, Dampak Covid-19
Surabaya, Suara Journalist KPK
Nur Fitriati seorang istri sekaligus anak yang kini harus bertahan hidup bersama empat anak perempuannya. Setelah sang suami yang menjadi tulang punggung keluarga pergi meninggalkan dirinya pada pertengahan 2021 lalu bersamaan dengan ayahnya karena covid-19.
Belum genap tujuh hari belahan jiwanya pergi, perempuan 50 tahun itu dibebani dengan anak bungsunya yang harus melanjutkan jenjang pendidikannya di SMA/SMK Sederajat. Pilihan tersebut jatuh di SMK swasta jurusan perhotelan di Kota Surabaya.
"Sekarang saya sudah menetap di Tembok Sayuran II, Kalau dulu saya di daerah Demak. Pindah kesini itu setelah bapak dan suami saya meninggal dunia karena Covid-19 yang masih rame - ramenya dulu. Gara - gara itu juga Grace baru mendapatkan sekolah setelah hari kedua siswa masuk ajaran baru di SMK swasta", ungkap Nur Fitriati, Kamis (15/06/2023).
Setahun berjalan, Nur masih mampu membiayai sekolah (SPP) untuk Grace dan kebutuhan keluarganya. Namun ketika Grace duduk di bangku kelas 11, Nur terseok-seok tak mampu membayar biaya SPP Grace. Total hampir Rp 5 juta. Hingga berbuntut tidak boleh mengikuti ujian kenaikan kelas oleh pihak sekolahnya.
"Ketika anak saya yang lain, ada yang sakit, saya yang sebelumnya buka kantin di sekolahan swasta akhirnya tidak kuat bayar sewa. Kantin saya tutup, bayar mahal sewanya Rp 10 juta, belum bayar SPP Grace sama kebutuhan keluarga lainnya," jelasnya.
Secara terpisah Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Pertiwi Ayu Krishna mengaku menerima aduan masyarakat yang menerangkan kondisi Nur Fitriati berserta empat anaknya yang dalam kondisi terhimpit. Akibat ditinggal oleh tulang punggung keluarganya yakni suami akibat Covid-19.
Wanita yang akrab disapa Bunda Ayu ini menerangkan akibat adanya pandemi Covid-19 ditingkat pemerintah dan masyarakat banyak sekali penyesuaian. Tidak hanya itu dampak dari virus mematikan ini turut merubah cara pandang seseorang terhadap menjaga pola kesehatan.
"Akibat pandemi Covid-19 itu banyak perubahan yang kita rasakan dari segi roda pemerintahan saja seperti kebijakan - kebijakan dan sejauh ini saya juga melihat ditingkat masyarakat adanya kesenjangan sosial, pergeseran ekonomi, bahkan pendidikan juga ada. Jadi tidak heran kalau ada warga yang tidak bisa bayar sekolah bahkan harus putus sekolah", ujar Bunda Ayu.
Ketika disinggung mengenai pelunasan biaya sekolah putri bungsu Nur Fitriati. Politisi Golkar Surabaya itu membenarkan jika ia memberikan bantuannya guna melanjutkan pendidikan Grace. Hingga awalnya tidak dapat mengikuti ujian kini telah dapat mengikuti ujian kenaikan kelas sejak Senin (12/06/2023).
"Iya benar, sudah memberikan bantuan kepada Grace dari total SPP yang harus dibayarkan hanya 3/4, lalu sisanya dibantu oleh ketua yayasan sekolah. Selain itu saya juga meminta agar masalah ini selesai dalam arti tidak ada perundungan disana sini jadi Grace bisa mendapatkan haknya untuk belajar secara nyaman," tuturnya
Apalagi Surabaya ini Kota Layak Anak. Saya akan pasang badan jika ada aksi bullying," imbuhnya.
Wanita yang menjadi ketua dalam komisi dibidang hukum dan pemerintahan ini turut menyesalkan adanya peristiwa tersebut. Mengingat kewenangan dalam pendidikan tingkat SMA/SMK Sederajat berada di Pemerintah Provinsi Jawa Timur sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Kalo dulukan kita punya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 47 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Dan Pengelolaan Pendidikan Di Kota Surabaya jadi dari tingkat dasar hingga menengah atas itu menjadi tanggungan pemerintah kota. Namun setelah adanya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah semua berubah drastis dan kita tidak mempunyai kewenangan," tegasnya.
Pertiwi Ayu Krishna yang juga ketua Srikandi Pemuda Pancasila Surabaya turut menyampaikan harapannya agar tidak ada lagi warga kota Surabaya yang tidak mengenyam pendidikan baik tingkat dasar ataupun menengah. Mengingat kini telah memasuki era persaingan pekerja dengan standarisasi ijazah terakhir yakni SMA/SMK Sederajat.
“kalo begini terus tidak menutup kemungkinan akan banyak pengangguran karena tidak mampu bersaing didunia kerja. Sekarang ini, minimal SMA bukan lagi SMP seperti era 2008 lalu yang wajib belajar sembilan tahun. Kalau memang provinsi tidak memungkinkan anggaran minim, saya dulu mantan anggota banggar DPRD Surabaya melihat dana APBD kami yang besar ini cukup mengatasi masalah pendidikan dari PAUD bahkan perguruan tinggi,” pungkasnya. (B4M)